Minggu, 09 Desember 2012

STRATEGI HABITUASI DALAM IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


(Makalah disampikan pada Diklat Pendidikan Karakter Bangsa pada tanggal 2—8 Desember 2012 di P4TK PKn dan IPS Malang)

Margono

Program Studi Pendidikan dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang

Kompetensi yang dibentuk pada pendidikan dan latihan (diklat) pendidikan karakter antara lain peserta dapat menjelaskan implementasi nilai-nilai pendidikan karakter bangsa melalui pembiasaan-pembiasaan di sekolah, dan menjelaskan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram. Pembiasaan-pembiasaan di sekolah tercermin pada kondisi sekolah, baik kondisi fisik, maupun kondisi sosial.  Hal ini berarti sebagian besar amat berhubungan dengan kegiatan pengembangan diri siswa secara spontan dan tidak terprogram. 
 
Ditinjau dari segi label yang digunakan, dua jenis label digunakan secara bersamaan, yakni label program dan label akademik. Label program mengalami perkembangan. Pertama, label yang dipakai mulai tahun 2010 oleh kementerian pendidikan adalah pendidikan budaya dan karakter bangsa (PBKB). Kedua, label yang dipakai oleh instansi yang sama pada tahun 2011 adalah pendidikan karakter bangsa (PKB).  Dan label ketiga adalah pendidikan karakter. Label terakhir ini dipandang lebih praktis dan biasa digunakan secara lisan dalam perbincangan sehari-hari. Label-label program tersebut kendati berbeda dalam penamaan, namun memiliki konsep dan strategi yang sama.
Label akademik menyangkut istilah yang dipakai dalam penelitian kajian ilmiah lainnya dalam pengembangan perilaku siswa yang dikehendaki. Berbagai jenis label akademik yang dipakai dalam literatur ilmiah adalah Pendidikan karakter, Pendidikan moral, Pendidikan nilai, Pendidikan budi pekerti, dan Pendidikan Akhlak. Nama pendidikan karakter baru populer mulai tahun 1990-an, setelah Lickona (1991) menerbitkan buku terkenal berjudul Educating for Character. Sebelumnya, istilah yang biasa dipakai untuk pendidikan karakter adalah pendidikan moral dan pendidikan nilai (Hersh dan Miller, 1980). Pada tahun 1950-an, Ki Hadjar Dewantara menggunakan istilah pendidikan budi pekerti untuk pendidikan moral atau pendidikan adab. Ki Hadjar Dewantara terkenal dengan teori tringa dalam pendidikan karakter, yakni perpaduan antara ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan), dan nglakoni (mengamalkan) kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kalangan lembaga pendidikan Islam, istilah yang dipakai untuk pendidikan karakter yang berbasis ajaran Islam disebut dengan pendidikan akhlak. Label pendidikan akhlak ini menarik untuk mengkonstruksi teori pendidikan karakter yang berketuhanan sesuai dengan falsafah Pancasila.
Menurut Balitbang Kemendiknas (2010), karakter adalah ”watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi kebajikan yang diyakini dan dijadikan landasan untuk berpikir, bersikap, dan bertindak”. Kebajikan adalah nilai-nilai moral. Kementerian pendidikan menganjurkan mendidikan 18 nilai moral di sekolah agar menjadi karakter siswa, yakni Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, dan Tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut merupakan isi pendidikan karakter. Dilihat dari segi isinya, pendidikan karakter disebut juga pendidikan nilai. Segi lainnya adalah perilaku baik siswa. Perilaku yang tampak ketika siswa berbuat kebaikan adalah perbuatannya atau pengamalannya (nglakoni). Pada pendidikan level rendah, Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar siswa langsung berbuat kebaikan. Strateginya adalah siswa dibiasakan untuk berbuat baik dengan mengatur kondisi sekolah. Pada level menengah, siswa diajak untuk merasakan (ngrasa) kebahagiaan orang berbuat baik, dan merasakan betapa sedihnya jika orang tidak berbuat baik. Dan pada level atas, siswa diajak untuk berpikir (ngerti) mengapa berbuat baik itu penting bagi kemanusiaan. Saran metodologis Ki Hadjar Dewantara ini agak berbeda dengan temuan penelitian perilaku moral yang menyatakan bahwa orang merasakan kebaikan dulu untuk kemudian mendorongnya berpikir alasan berbuat baik (Kurtines & Gewirtz, 1984).
Tujuan pendidikan adalah membentuk orang berkarakter. Orang yang berkarakter adalah orang yang perilakun baik, karena perilakuknya sesuai dengan nilai-nilai moral. Dan sebaliknya, orang yang tidak berkarakter adalah orang buruk, karena perilakunya tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Misalnya, orang berkarakter jujur, bukan orang berkarakter lalim; orang yang jujur, bukan pembohong (curang); orang yang menghargai orang lain, tidak gemar menghina; orang yang sederhana, bukan bermewahan; orang yang rendah hati, bukan sombong atau tinggi hati.

Habituasi dalam Perspektif Teori Pengkondisian
Makalah ini difokuskan pada strategi habituasi pada pendidikan karakter. Jika habituasi diartikan dengan pembiasaan, maka teori yang tepat untuk diterapkan adalah teori pengkondisian. Teori ini lebih menonjolkan pada pemberian stimulus dari lingkungan agar subjek merespons secara berualang-ulang. Perulangan respons ini disebut pembiasaan (Koswara, 2009). Setidaknya ada dua jenis teori pengkondisian yang terkenal, yakni pengkondisian klasik dan pengkondisian operan.
Pengkondisian klasik mengarah pada pembentukan respons yang dipelajari dengan cara memberi dua jenis stimulus secara bersamaan. Stimulus alamiah diberikan secara bersamaan dengan stimulus yang dipelajari secara berulang-ulang. Hasilnya adalah respon subjek yang dipelajari, meskipun stimulus alamiahnya tidak hadir. Anjing merespons dengan mengeluarkan air liurnya setelah mendengar bel. Anjing telah mempelajari bunyi bel tersebut, karena pemberian makanan selalu bersamaan dengan bunyi bel.
Dalam pengaturan kondisi sekolah, sudah biasa siswa tergopoh-gopoh menuju kelas masing-masing setelah mendengar bunyi bel berdentang. Istirahat telah usai. Bel berbunyi dua kali adalah pertanda jam pelajaran berikutnya dimulai. Kedisiplinan dalam mengikuti pelajaran dibentuk dengan bunyi bel tersebut.
Pengkondisian operan agak berbeda formulanya.  Respons yang dikehendaki oleh lingkungan diberi stimulus ulang berupa perkuatan (reinforcement) yang berbentuk hadiah atau penghargaan. Respons tersebut ternyata diulang oleh subjek. Stimulus yang mengakibatkan subjek mengulang responsnya ini disebut perkuatan, karena memang memiliki fungsi memperkuat respons. Perkuatan yang berbentuk hadiah atau penghargaan dapat berupa perilaku sosial seperti senyuman, pelukan, atau elusan; atau berbentuk bahasa seperti kata bagus, pintar, atau baik yang diberikan lingkungan (orang tua atau guru). Perkuatan dapat pula berupa hadiah fisik seperti makanan, pakaian, atau barang berharga lainnya. Kebiasaan yang bagus yang dilakukan pihak sekolah adalah memberikan hadiah beasiswa atau gratis SPP bagi siswa yang prestasi belajarnya paling bagus (ranking satu hingga tiga) pada setiap akhir semester. Hadiah ini mestinya disaksikan oleh siswa-siswa lainnya dalam upacara sekolah, daripada hadiah diberikan kepada orang tua siswa pada rapat wali murid.
Sudah selayaknya sekolah lebih banyak lagi memberi hadiah kepada siswa, sehingga sekolah terasa seperti surga. Siswa merasa nyaman di sekolah. Konon hadiah membuat siswa senang. Dan hukuman membuat siswa menderita. Skiner mengajurkan agar pendidikan lebih menggunakan hadiah daripada hukuman. Memang sulit menghindari penggunaan hukuman bagi siswa yang menampilkan perilaku yang tidak dikehendaki. Sekolah pada umumnya telah berhasil membuat siswa pemberian hukuman dengan menciptakan buku tata tertib. Hal ini harus diimbangi dengan pengembangan sistem pemberian hadiah yang lebih kuat, untuk meredam efek penderitaan seperti dalam neraka. Sekolah jangan seperti penjara yang menyiksa anak-anak.
Pengembangan sistem pemberian hadiah di sekolah dapat mengkuti saran sebagai berikut. Pertama sekolah harus mengidentifikasi perilaku siswa di sekolah sesuai dengan 18 nilai karakter yang dibentuk. Kedua, sekolah harus mengembangkan instrumen untuk mengukur atau merekam setiap perilaku. Ketiga, gunakanlah jumlah poin untuk menghitung kemunculan perilaku siswa yang dikehendaki. Keempat, sekolah harus memberikan penghargaan akhir berupa hadiah sosial dan fisik. Dan keempat adalah sekolah jangan ragu untuk menganugerahkan bintang pelajar pada siswa yang memperoleh poin hadiah terbanyak pada setiap tahunnya.
Dua teknik penting dalam pelaksanaan pengkondisian operan, yaitu teknik shaping dan penggunaan jadwal pemberian perkuatan. Teknik shaping dilakukan untuk membentuk tingkahlaku yang sulit dibentuk. Guru harus memberi perkuatan secara bertahap terhadap setiap respons perilaku yang mengarah pada perilaku akhir yang dikendaki, walaupun perilaku tersebut belum sempurna. Contoh sederhana adalah anak belajar berbicara. Misalnya anak belajar menyebut kata hallo. Anak yang baru berumur satu tahun diberi mainan handphone (hape), dan ia menempelkan hape tersebut ke telinganya sambil mengucap “oo...” Orang tuanya senang dan memeluknya sambil mengucap “anak pintar”. Begitulah berulang-ulang, sampai anak dapat menyebut “Aooo...”. Orang tuanya memberi perkuatan dengan mengatakan “anak pintar”.  Berikutnya, anak tersebut dapat mengucap “Hayo” dan diperkuat juga oleh orang tuanya. Pada akhirnya, anak tersebut dapat menyebut “hallo” dengan sempurna.
Di sekolah, guru jangan terlalu pelit memberi hadiah kepada siswa, sekalipun siswa tertentu biasanya berbuat kurang baik. Si Mamat biasanya terlambat dan dia diberi hukuman (stimulus avership). Suatu pagi guru melihat si Mamat datang tepat waktu. Guru harus memberi perkuatan yang tulus dengan mengucapkan apa saja yang menyenangkan si Mamat. Guru jangan hanyak melihat siswa dari sisi buruknya. Carilah sisi baik perilaku siswa, dan segera berikan perkuatan. Lama-kelamaan siswa tersebut akan dapat berbuat baik seperti yang dikehendaki guru.
Jadwal pemberian perkuatan adalah kapan perkuatan diberikan kepada subjek, sehingga respons subjek tetap dipertahankan. Perkuatan mungkin diberikan secara sinambung (kontinu), interval tetap, interval bervariasi, rasio tetap, atau rasio bervariasi. Jadwal ini harus diamati efek penggunaannya pada perilaku siswa. Perkuatan yang diberikan secara sinambung berarti siswa akan selalu diperkuat jika menampilkan respon yang diinginkan. Biasanya guru menggunakan bahasa atau gerakan tumbuh (gesture) untuk memperkuat perilaku siswa. Siswa yang dapat menjawab pertanyaan guru dengan benar selalu diperkuat dengan guru mengucapkan kata “bagus”. Perkuatan sinambung memiliki kelemahan utama berupa kejenuhan pada siswa. Perkuatan tak dapat dirasakan lagi, karena guru selalu mengatakan bagus. Bahkan ada siswa yang mengganti nama gurunya dengan Pak Bagus. Kendati perkuatan sinambung menggunakan sumber perkuatan yang gratis, tetapi efek kejenuhan harus diperhitungkan, sehingga guru perlu menggunakan jadwal perkuatan secara interval atau rasio.
Perkuatan yang diberikan secara interval tetap berarti perkuatan diberikan pada skala waktu tertentu. Beasiswa selalu diberikan bersamaan dengan waktu raportan. Pemberian gelas bintang pelajar selalu dilakukan pada upacara bendera pertama pada tahun ajaran baru.
Perkuatan yang diberikan secara interval bervariasi berarti waktu pemberian perkuatan tidak pasti. Sekitar minggu kelima pelajaran, kepala sekolah datang ke kelas untuk memeriksa kebersihan lantai (sudah dipel atau belum oleh siswa yang piket) dan menempelkan jarinya pada kaca jendela untuk memastikan adanya debu di jendela tersebut. Jika semua beres, maka kepala sekolah mengacungkan jempol kepada petugas piket.
Rasio berarti perbandingan antara perilaku yang dikehendaki dengan hadiah atau penghargaan yang diberikan. Perkuatan yang diberikan secara rasio tetap berti rasio tersebut ditetapkan. Siswa yang membaca enam buku dalam satu bulan akan diberi bintang/poin sepuluh. Datanya terekam pada peminjaman dan pengembalian buku perpustakaan. Hal ini berarti ia sangat gemar membaca. Jika ia hanya membaca tiga buku, maka ia hanya mendapat lima poin saja.
Rasio bervariasi berarti perkuatan diberikan dengan rasio yang tidak ditetapkan. Sekolah memberikan lima poin penghargaan kepada seorang siswa yang  ketahuan memakai perlengkapan sekolah produksi dalam negeri. Akan tetapi, sekolah tidak memberi penghargaan serupa kepada siswa lain yang tidak ketahuan, walaupun ia memakai produksi dalam negeri.

Teori Belajar Sosial pada Pemberian Keteladanan
Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu berarti siswa percaya bahwa perilaku guru adalah baik. Lingkungan masyarakat memberi penghargaan terhadap kebaikan guru tersebut. Dan ditiru berarti siswa mencontoh perilaku baik guru tersebut. Petuah ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori belajar sosial. Intinya adalah siswa akan menirukan gurunya, jika ia mengamati guru yang telah berbuat kebaikan, dan guru juga mendapat penghargaan dari lingkungan masyarakatnya atas perilakunya yang baik tersebut. Hal ini dapat berlaku sebaliknya. Guru yang berlaku buruk dan dikecam masyarakatnya membuat siswa tidak akan mencontoh perilaku guru tersebut. Dan yang dikhawatirkan adalah guru yang telah berbuat kebaikan, tetapi lingkungannya tidak memberi penghargaan yang berarti, maka siswa juga tidak akan mencontoh perilaku guru yang baik tersebut. Misalnya guru bergaya hidup sederhana, tetapi dicemooh Umar Bakri oleh lagu Iwan Fals. Siswa tidak akan meniru gaya hidup sederhana gurunya, betapapun hidup sederhana adalah sesuatu yang bernilai. Sebaliknya, siswa cenderung berperilaku bermewahan.
Unsur teori belajar sosial adalah pengamatan terhadap perilaku
vicarious reinforcement, harapan untuk mendapatkan hadiah, self efficacy
self direction, imitasi, dan Inovasi (Hall & Lindzey, 1993). Pengamatan menyangkut dorongan, perhatian, dan aktivitas subjek untuk mendapatkan data dari perilaku model dan perkuatan yang diterima model atas perilakunya tersebut. Siswa mengamati perilaku guru yang telah berbuat kebaikan. Siswa mengamati guru tersebut mendapat perkuatan dari lingkungan sekitar. Siswa mengamati Pak Somad rajin beribah. Siswa juga menyaksikan Kepala sekolah sering memberi tugas Pak Somad memimpin berdoa dan teman-temannya meminta ia untuk menjadi imam shalat.
Vicarious reinforcement adalah perkuatan yang diterima model (orang yang hendak diteladani). Misalnya lingkungan sekitar memberi penghargaan kepada guru yang telah melakukan kebaikkan. Pemberian tugas untuk memimpin doa merupakan penghargaan kepala sekolah kepada Pak Somad. Teman-temannya yang menunjuknya sebagai imam shalat juga merupakan vicarious reinforcemen. Siswa belum mendapatkan penghargaan tersebut, karena ia belum berbuat kebaikan setara dengan gurunya.
Harapan adalah subjek menginginkan hadiah atau penghargaan jika ia berbuat seperti si model. Siswa berharap mendapat perkuatan dari lingkungan sekitarnya, serupa dengan perkuatan yang diterima guru. Siswa berharap, karena ia menilai dirinya mampu untuk melakukan kebaikan tersebut. Siswa berharap mendapat penghargaan dari temannya, guru, dan kepala sekolah jika ia meniru perilaku Pak Somad.
Harapan itu muncul karena subjek memiliki self efficacy. Rasa percaya bahwa dirinya mampu berbuat kebaikan seperti yang dilakukan orang lain. Kepercayaan tumbuh karena ia menilai dirinya pernah juga berbuat serupa pada kesempatan lain, dalam skala kecil, dan berhasil. Siswa yang mengamati Pak Somad merasa dirinya juga bisa mengaji. Ia juga melakukan shalat, walaupun belum pernah jadi imam shalat. Ia yakin suatu ketika bisa menjadi imam shalat, setidaknya bagi teman sebayanya.
Individu sebagai subjek dan sekaligus objek. Ketika ia berperan sebagai subjek inilah ia memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction). Individu memiliki dorongan, perhatian, dan pengamatan terhadap lingkungan. Individu juga memikirkan (mempertimbangkan dan memutuskan) apakah ia akhirnya meniru, mengembangkan (inovasi)  atau tidak. Pengakuan individu sebagai subjek ini membedakan teori beljar sosial dengan teori pengkondisian. Siswa adalah subjek. Ia mengamati, memiliki harapan, mempertimbangkan, dan memutuskan apakah ia meniru Pak Somad atau tidak.
Imitasi adalah keputusan individu untuk meniru perilaku model. Dan inovasi adalah menemukan cara baru untuk mengembangkan perilaku model. Siswa meniru perilaku guru. Siswa juga mengembangkan perilaku guru. Siswa yang mengamati perilaku Pak Somad mungkin memutuskan untuk menirunya. Bahkan suatu ketika, ia mungkin akan jadi ustad yang lebih baik dari Pak Somad.

Pengembangan Diri secara Tidak Terprogram
Pengembangan diri siswa secara tidak terprogram di sekolah meliputi kegiatan rutin, kegiatan spontan, dan keteladanan itu sendiri. Kegiatan rutin misalnya piket kelas, ibadah, berdoa, bakti social, lomba antar kelas, dan peringatan hari besar nasional. Nilai manakah yang ditanamkan pada setiap kegiatan rutin tersebut? Dan apakah indikatornya?
Kegiatan spontan adalah kegiatan yang secara langsung direspon oleh guru, siswa, staf sekolah, dan kepala sekolah. Mereka misalnya memberi dan menjawab salam, meminta maaf jika berbuat salah, berterima kasih, bersyukur, bersalaman jika bertemu satu sama lain, membesuk jika ada yang sakit, menolong yang kesusahan, dan melerai jika terjadi perselisihan. Nilai apa yang ditanamkan pada kegiatan spontan tersebut? Bagaimana cara memberi perkuatan?
Guru perlu mengembangkan indikator dari karakter yang terbentuk melalui kegiatan tidak terprogram. Indikator adalah petunjuk yang dapat dikenali bahwa nilai yang ditanamkan telah mewatak. Contoh indikator dari berkembangnya nilai kejujuran: Neraca bulanan kantin kejujuran yang ada di sekolah mengalami keuntungan/laba. Jadi bukan sekedar adanya kantin kejujuran di sekolah. Ada kantin kejujuran, tetapi selalu rugi, berarti tidak jujur.
Contoh lainnya adalah karakter bersih. Nilai yang dikembangkan menyangkut kebersihan. Kegiatannya, siswa memelitur bangku setiap setelah ujian akhir semester 2 (class meeting/lomba kebersihan). Indikator dari karakter bersih pada kegiatan ini adalah siswa menggosok bangkunya dengan kertas gosok, siswa memelitur bangkunya, sekolah menyiapkan kertas gosok dan pelitur, siswa mengikuti lomba kebersihan bangku antar kelas, dan siswa meniru kelas yang menang lomba kebersihan bangku.
Banyak kegiatan spontan yang dapat dilakukan siswa, guru, kepala sekolah, dan staf sekolah untuk memperkuat karakter siswa. Kegiatan spontan itu misalnya memberi nasehat pada saat upacara bendera; merawat fasilitas sekolah (baju sekolah, meja, bangku, dinding); melakukan bimbingan dan penyuluhan secara berkala; memberi pujian kepada siswa yang mampu dan mau melakukan kebaikan terhadap orang lain; dan memberi dukungan/dorongan untuk menanamkan rasa senang dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki siswa dengan membantu melatih dan mengikutsertakan dalam perlombaan-perlombaan atau pertandingan-pertandingan di kelas,di sekolah, maupun di luar sekolah.
Kegiatan spontan lainnya adalah menegur siswa yang tidak merawat fasilitas sekolah, memberi nasehat agar turut merawat serga menjaga lingkungan dan fasilitas umum (tanaman, telepon umum), memberi nasehat agar tidak mencemarkan nama baik sekolah (berkelahi, tawuran), menasehati pentingnya antri dalam keluar masuk kelas atau loket, memuji karena rajin belajar, mendorong/memotivasi untuk rajin belajar, mendorong untuk mengerjakan PR, memberi PR sesuai dengan kemampuan siswa, memeriksa dan memberi umpan balik tugas siswa, dan menasehati untuk selalu mengerjakan tugas sesuai petunjuk. Di samping itu, kegiatan sponatan juga menasehati untuk tidak berbuat curang atau mencontek, bertanya jawab soal pada temannya; mendorong siswa untuk mengemukakan pendapatnya; mengarahkan siswa untuk mau menerima pendapat orang lain yang lebih baik; menyadarkan kepada siswa bahwa pendapatnya belum tentu benar; mengajak siswa agar menjauhi sifat-sifat sombong, dan memasang poster bahaya merokok. Masih banyak lagi kegiatan spontan yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter siswa.

Penutup
Strategi habituasi untuk membentuk karakter siswa dapat dilakukan dengan menggunakan teori pengkondisian dan belajar sosial. Teknik shaping dan penggunaan jadwal pemberian perkuatan dapat dipakai untuk memperkuat perilaku siswa. Sedangkan keteladanan guru bagi siswa harus dipahami dari segi teori belajar sosial. Hal ini berarti siswa harus diberi kesempatan untuk mengamati perilaku guru dan perkuatan yang diterima guru dari lingkungan sosialnya. Teori tersebut dapat diterapkan pada kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram yang lebih bersifat rutin dan spontan.

Daftar Rujukan
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum. 2010.  Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemendiknas.
Hall, C.S. & Lindzey, G. 1993. Teori-teori Sifat dan Behavioristik: Allport, Sheldon, Catell, Dollard, Miller & Skinner. (terjemahan A.Supratiknya). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hersh, R.H., Millerr, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Models of Moral Education. New York: Longman, Inc.
Koswara, E. 2009. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Kurtines, W & Gewirtz, J. 1984. Morality, Moral Behavior, and Moral Development. New York: John Wiley & Son.
Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantams Book.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar