(Makalah
disampikan pada Diklat Pendidikan Karakter Bangsa pada tanggal 2—8 Desember
2012 di P4TK PKn dan IPS Malang)
Margono
Program Studi Pendidikan dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Kompetensi yang dibentuk pada pendidikan dan latihan (diklat) pendidikan karakter antara lain peserta dapat menjelaskan implementasi nilai-nilai pendidikan karakter bangsa melalui pembiasaan-pembiasaan di sekolah, dan menjelaskan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram. Pembiasaan-pembiasaan di sekolah tercermin pada kondisi sekolah, baik kondisi fisik, maupun kondisi sosial. Hal ini berarti sebagian besar amat berhubungan dengan kegiatan pengembangan diri siswa secara spontan dan tidak terprogram.
Ditinjau dari
segi label yang digunakan, dua jenis label digunakan secara bersamaan, yakni label
program dan label akademik. Label program mengalami perkembangan. Pertama,
label yang dipakai mulai tahun 2010 oleh kementerian pendidikan adalah
pendidikan budaya dan karakter bangsa (PBKB). Kedua, label yang dipakai oleh
instansi yang sama pada tahun 2011 adalah pendidikan karakter bangsa
(PKB). Dan label ketiga adalah
pendidikan karakter. Label terakhir ini dipandang lebih praktis dan biasa
digunakan secara lisan dalam perbincangan sehari-hari. Label-label program
tersebut kendati berbeda dalam penamaan, namun memiliki konsep dan strategi
yang sama.
Label akademik
menyangkut istilah yang dipakai dalam penelitian kajian ilmiah lainnya dalam
pengembangan perilaku siswa yang dikehendaki. Berbagai jenis label akademik
yang dipakai dalam literatur ilmiah adalah Pendidikan karakter, Pendidikan
moral, Pendidikan nilai, Pendidikan budi pekerti, dan Pendidikan Akhlak. Nama
pendidikan karakter baru populer mulai tahun 1990-an, setelah Lickona (1991) menerbitkan
buku terkenal berjudul Educating for Character. Sebelumnya, istilah yang
biasa dipakai untuk pendidikan karakter adalah pendidikan moral dan pendidikan
nilai (Hersh dan Miller, 1980). Pada tahun 1950-an, Ki Hadjar Dewantara
menggunakan istilah pendidikan budi pekerti untuk pendidikan moral atau pendidikan
adab. Ki Hadjar Dewantara terkenal dengan teori tringa dalam pendidikan
karakter, yakni perpaduan antara ngerti (mengerti), ngrasa
(merasakan), dan nglakoni (mengamalkan) kebaikan dalam kehidupan
sehari-hari. Pada kalangan lembaga pendidikan Islam, istilah yang dipakai untuk
pendidikan karakter yang berbasis ajaran Islam disebut dengan pendidikan
akhlak. Label pendidikan akhlak ini menarik untuk mengkonstruksi teori
pendidikan karakter yang berketuhanan sesuai dengan falsafah Pancasila.
Menurut Balitbang
Kemendiknas (2010), karakter adalah ”watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi kebajikan yang diyakini dan dijadikan
landasan untuk berpikir, bersikap, dan bertindak”. Kebajikan adalah
nilai-nilai moral. Kementerian pendidikan menganjurkan mendidikan 18 nilai
moral di sekolah agar menjadi karakter siswa, yakni Religius, Jujur, Toleransi,
Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat
kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta
damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, dan Tanggung jawab.
Nilai-nilai
tersebut merupakan isi pendidikan karakter. Dilihat dari segi isinya,
pendidikan karakter disebut juga pendidikan nilai. Segi lainnya adalah perilaku
baik siswa. Perilaku yang tampak ketika siswa berbuat kebaikan adalah
perbuatannya atau pengamalannya (nglakoni). Pada pendidikan level
rendah, Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar siswa langsung berbuat kebaikan.
Strateginya adalah siswa dibiasakan untuk berbuat baik dengan mengatur kondisi
sekolah. Pada level menengah, siswa diajak untuk merasakan (ngrasa) kebahagiaan
orang berbuat baik, dan merasakan betapa sedihnya jika orang tidak berbuat
baik. Dan pada level atas, siswa diajak untuk berpikir (ngerti) mengapa
berbuat baik itu penting bagi kemanusiaan. Saran metodologis Ki Hadjar
Dewantara ini agak berbeda dengan temuan penelitian perilaku moral yang
menyatakan bahwa orang merasakan kebaikan dulu untuk kemudian mendorongnya
berpikir alasan berbuat baik (Kurtines & Gewirtz, 1984).
Tujuan pendidikan
adalah membentuk orang berkarakter. Orang yang berkarakter adalah orang yang
perilakun baik, karena perilakuknya sesuai dengan nilai-nilai moral. Dan
sebaliknya, orang yang tidak berkarakter adalah orang buruk, karena perilakunya
tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Misalnya, orang berkarakter jujur, bukan
orang berkarakter lalim; orang yang jujur, bukan pembohong (curang); orang yang
menghargai orang lain, tidak gemar menghina; orang yang sederhana, bukan
bermewahan; orang yang rendah hati, bukan sombong atau tinggi hati.
Habituasi dalam Perspektif Teori
Pengkondisian
Makalah ini
difokuskan pada strategi habituasi pada pendidikan karakter. Jika habituasi
diartikan dengan pembiasaan, maka teori yang tepat untuk diterapkan adalah
teori pengkondisian. Teori ini lebih menonjolkan pada pemberian stimulus dari
lingkungan agar subjek merespons secara berualang-ulang. Perulangan respons ini
disebut pembiasaan (Koswara, 2009). Setidaknya ada dua jenis teori
pengkondisian yang terkenal, yakni pengkondisian klasik dan pengkondisian
operan.
Pengkondisian
klasik mengarah pada pembentukan respons yang dipelajari dengan cara memberi
dua jenis stimulus secara bersamaan. Stimulus alamiah diberikan secara bersamaan
dengan stimulus yang dipelajari secara berulang-ulang. Hasilnya adalah respon
subjek yang dipelajari, meskipun stimulus alamiahnya tidak hadir. Anjing
merespons dengan mengeluarkan air liurnya setelah mendengar bel. Anjing telah
mempelajari bunyi bel tersebut, karena pemberian makanan selalu bersamaan
dengan bunyi bel.
Dalam pengaturan
kondisi sekolah, sudah biasa siswa tergopoh-gopoh menuju kelas masing-masing
setelah mendengar bunyi bel berdentang. Istirahat telah usai. Bel berbunyi dua
kali adalah pertanda jam pelajaran berikutnya dimulai. Kedisiplinan dalam
mengikuti pelajaran dibentuk dengan bunyi bel tersebut.
Pengkondisian operan
agak berbeda formulanya. Respons yang
dikehendaki oleh lingkungan diberi stimulus ulang berupa perkuatan (reinforcement)
yang berbentuk hadiah atau penghargaan. Respons tersebut ternyata diulang oleh
subjek. Stimulus yang mengakibatkan subjek mengulang responsnya ini disebut
perkuatan, karena memang memiliki fungsi memperkuat respons. Perkuatan yang
berbentuk hadiah atau penghargaan dapat berupa perilaku sosial seperti
senyuman, pelukan, atau elusan; atau berbentuk bahasa seperti kata bagus,
pintar, atau baik yang diberikan lingkungan (orang tua atau guru). Perkuatan
dapat pula berupa hadiah fisik seperti makanan, pakaian, atau barang berharga
lainnya. Kebiasaan yang bagus yang dilakukan pihak sekolah adalah memberikan
hadiah beasiswa atau gratis SPP bagi siswa yang prestasi belajarnya paling
bagus (ranking satu hingga tiga) pada setiap akhir semester. Hadiah ini
mestinya disaksikan oleh siswa-siswa lainnya dalam upacara sekolah, daripada
hadiah diberikan kepada orang tua siswa pada rapat wali murid.
Sudah selayaknya
sekolah lebih banyak lagi memberi hadiah kepada siswa, sehingga sekolah terasa
seperti surga. Siswa merasa nyaman di sekolah. Konon hadiah membuat siswa
senang. Dan hukuman membuat siswa menderita. Skiner mengajurkan agar pendidikan
lebih menggunakan hadiah daripada hukuman. Memang sulit menghindari penggunaan
hukuman bagi siswa yang menampilkan perilaku yang tidak dikehendaki. Sekolah
pada umumnya telah berhasil membuat siswa pemberian hukuman dengan menciptakan
buku tata tertib. Hal ini harus diimbangi dengan pengembangan sistem pemberian
hadiah yang lebih kuat, untuk meredam efek penderitaan seperti dalam neraka.
Sekolah jangan seperti penjara yang menyiksa anak-anak.
Pengembangan
sistem pemberian hadiah di sekolah dapat mengkuti saran sebagai berikut. Pertama
sekolah harus mengidentifikasi perilaku siswa di sekolah sesuai dengan 18
nilai karakter yang dibentuk. Kedua, sekolah harus mengembangkan instrumen
untuk mengukur atau merekam setiap perilaku. Ketiga, gunakanlah jumlah poin
untuk menghitung kemunculan perilaku siswa yang dikehendaki. Keempat, sekolah
harus memberikan penghargaan akhir berupa hadiah sosial dan fisik. Dan keempat
adalah sekolah jangan ragu untuk menganugerahkan bintang pelajar pada siswa
yang memperoleh poin hadiah terbanyak pada setiap tahunnya.
Dua teknik
penting dalam pelaksanaan pengkondisian operan, yaitu teknik shaping dan
penggunaan jadwal pemberian perkuatan. Teknik shaping dilakukan untuk
membentuk tingkahlaku yang sulit dibentuk. Guru harus memberi perkuatan secara
bertahap terhadap setiap respons perilaku yang mengarah pada perilaku akhir
yang dikendaki, walaupun perilaku tersebut belum sempurna. Contoh sederhana
adalah anak belajar berbicara. Misalnya anak belajar menyebut kata hallo. Anak
yang baru berumur satu tahun diberi mainan handphone (hape), dan ia menempelkan
hape tersebut ke telinganya sambil mengucap “oo...” Orang tuanya senang dan
memeluknya sambil mengucap “anak pintar”. Begitulah berulang-ulang, sampai anak
dapat menyebut “Aooo...”. Orang tuanya memberi perkuatan dengan mengatakan
“anak pintar”. Berikutnya, anak tersebut
dapat mengucap “Hayo” dan diperkuat juga oleh orang tuanya. Pada akhirnya, anak
tersebut dapat menyebut “hallo” dengan sempurna.
Di sekolah, guru
jangan terlalu pelit memberi hadiah kepada siswa, sekalipun siswa tertentu
biasanya berbuat kurang baik. Si Mamat biasanya terlambat dan dia diberi
hukuman (stimulus avership). Suatu pagi guru melihat si Mamat datang
tepat waktu. Guru harus memberi perkuatan yang tulus dengan mengucapkan apa
saja yang menyenangkan si Mamat. Guru jangan hanyak melihat siswa dari sisi
buruknya. Carilah sisi baik perilaku siswa, dan segera berikan perkuatan.
Lama-kelamaan siswa tersebut akan dapat berbuat baik seperti yang dikehendaki
guru.
Jadwal pemberian
perkuatan adalah kapan perkuatan diberikan kepada subjek, sehingga respons
subjek tetap dipertahankan. Perkuatan mungkin diberikan secara sinambung
(kontinu), interval tetap, interval bervariasi, rasio tetap, atau rasio
bervariasi. Jadwal ini harus diamati efek penggunaannya pada perilaku siswa. Perkuatan
yang diberikan secara sinambung berarti siswa akan selalu diperkuat jika
menampilkan respon yang diinginkan. Biasanya guru menggunakan bahasa atau
gerakan tumbuh (gesture) untuk memperkuat perilaku siswa. Siswa yang dapat
menjawab pertanyaan guru dengan benar selalu diperkuat dengan guru mengucapkan
kata “bagus”. Perkuatan sinambung memiliki kelemahan utama berupa kejenuhan
pada siswa. Perkuatan tak dapat dirasakan lagi, karena guru selalu mengatakan
bagus. Bahkan ada siswa yang mengganti nama gurunya dengan Pak Bagus. Kendati
perkuatan sinambung menggunakan sumber perkuatan yang gratis, tetapi efek
kejenuhan harus diperhitungkan, sehingga guru perlu menggunakan jadwal
perkuatan secara interval atau rasio.
Perkuatan yang
diberikan secara interval tetap berarti perkuatan diberikan pada skala waktu
tertentu. Beasiswa selalu diberikan bersamaan dengan waktu raportan. Pemberian
gelas bintang pelajar selalu dilakukan pada upacara bendera pertama pada tahun
ajaran baru.
Perkuatan yang
diberikan secara interval bervariasi berarti waktu pemberian perkuatan tidak
pasti. Sekitar minggu kelima pelajaran, kepala sekolah datang ke kelas untuk
memeriksa kebersihan lantai (sudah dipel atau belum oleh siswa yang piket) dan
menempelkan jarinya pada kaca jendela untuk memastikan adanya debu di jendela
tersebut. Jika semua beres, maka kepala sekolah mengacungkan jempol kepada
petugas piket.
Rasio berarti
perbandingan antara perilaku yang dikehendaki dengan hadiah atau penghargaan
yang diberikan. Perkuatan yang diberikan secara rasio tetap berti rasio
tersebut ditetapkan. Siswa yang membaca enam buku dalam satu bulan akan diberi
bintang/poin sepuluh. Datanya terekam pada peminjaman dan pengembalian buku
perpustakaan. Hal ini berarti ia sangat gemar membaca. Jika ia hanya membaca
tiga buku, maka ia hanya mendapat lima poin saja.
Rasio bervariasi
berarti perkuatan diberikan dengan rasio yang tidak ditetapkan. Sekolah
memberikan lima poin penghargaan kepada seorang siswa yang ketahuan memakai perlengkapan sekolah
produksi dalam negeri. Akan tetapi, sekolah tidak memberi penghargaan serupa
kepada siswa lain yang tidak ketahuan, walaupun ia memakai produksi dalam
negeri.
Teori Belajar Sosial pada Pemberian Keteladanan
Guru adalah sosok
yang digugu dan ditiru. Digugu berarti siswa percaya bahwa
perilaku guru adalah baik. Lingkungan masyarakat memberi penghargaan terhadap
kebaikan guru tersebut. Dan ditiru berarti siswa mencontoh perilaku baik guru
tersebut. Petuah ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori belajar sosial.
Intinya adalah siswa akan menirukan gurunya, jika ia mengamati guru yang telah
berbuat kebaikan, dan guru juga mendapat penghargaan dari lingkungan
masyarakatnya atas perilakunya yang baik tersebut. Hal ini dapat berlaku
sebaliknya. Guru yang berlaku buruk dan dikecam masyarakatnya membuat siswa
tidak akan mencontoh perilaku guru tersebut. Dan yang dikhawatirkan adalah guru
yang telah berbuat kebaikan, tetapi lingkungannya tidak memberi penghargaan
yang berarti, maka siswa juga tidak akan mencontoh perilaku guru yang baik
tersebut. Misalnya guru bergaya hidup sederhana, tetapi dicemooh Umar Bakri
oleh lagu Iwan Fals. Siswa tidak akan meniru gaya hidup sederhana gurunya,
betapapun hidup sederhana adalah sesuatu yang bernilai. Sebaliknya, siswa
cenderung berperilaku bermewahan.
Unsur teori
belajar sosial adalah pengamatan terhadap perilaku
vicarious reinforcement, harapan untuk mendapatkan hadiah, self
efficacy
self direction, imitasi, dan Inovasi (Hall & Lindzey, 1993).
Pengamatan menyangkut dorongan, perhatian, dan aktivitas subjek untuk
mendapatkan data dari perilaku model dan perkuatan yang diterima model atas
perilakunya tersebut. Siswa mengamati perilaku guru yang telah berbuat kebaikan.
Siswa mengamati guru tersebut mendapat perkuatan dari lingkungan sekitar. Siswa
mengamati Pak Somad rajin beribah. Siswa juga menyaksikan Kepala sekolah sering
memberi tugas Pak Somad memimpin berdoa dan teman-temannya meminta ia untuk
menjadi imam shalat.
Vicarious
reinforcement adalah perkuatan yang diterima model (orang yang hendak
diteladani). Misalnya lingkungan sekitar memberi penghargaan kepada guru yang
telah melakukan kebaikkan. Pemberian tugas untuk memimpin doa merupakan
penghargaan kepala sekolah kepada Pak Somad. Teman-temannya yang menunjuknya
sebagai imam shalat juga merupakan vicarious reinforcemen. Siswa belum
mendapatkan penghargaan tersebut, karena ia belum berbuat kebaikan setara
dengan gurunya.
Harapan adalah
subjek menginginkan hadiah atau penghargaan jika ia berbuat seperti si model. Siswa
berharap mendapat perkuatan dari lingkungan sekitarnya, serupa dengan perkuatan
yang diterima guru. Siswa berharap, karena ia menilai dirinya mampu untuk
melakukan kebaikan tersebut. Siswa berharap mendapat penghargaan dari temannya,
guru, dan kepala sekolah jika ia meniru perilaku Pak Somad.
Harapan itu
muncul karena subjek memiliki self efficacy. Rasa percaya bahwa dirinya
mampu berbuat kebaikan seperti yang dilakukan orang lain. Kepercayaan tumbuh
karena ia menilai dirinya pernah juga berbuat serupa pada kesempatan lain,
dalam skala kecil, dan berhasil. Siswa yang mengamati Pak Somad merasa dirinya
juga bisa mengaji. Ia juga melakukan shalat, walaupun belum pernah jadi imam
shalat. Ia yakin suatu ketika bisa menjadi imam shalat, setidaknya bagi teman
sebayanya.
Individu sebagai
subjek dan sekaligus objek. Ketika ia berperan sebagai subjek inilah ia memiliki
kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction). Individu memiliki
dorongan, perhatian, dan pengamatan terhadap lingkungan. Individu juga
memikirkan (mempertimbangkan dan memutuskan) apakah ia akhirnya meniru,
mengembangkan (inovasi) atau tidak.
Pengakuan individu sebagai subjek ini membedakan teori beljar sosial dengan
teori pengkondisian. Siswa adalah subjek. Ia mengamati, memiliki harapan,
mempertimbangkan, dan memutuskan apakah ia meniru Pak Somad atau tidak.
Imitasi adalah keputusan
individu untuk meniru perilaku model. Dan inovasi adalah menemukan cara baru
untuk mengembangkan perilaku model. Siswa meniru perilaku guru. Siswa juga
mengembangkan perilaku guru. Siswa yang mengamati perilaku Pak Somad mungkin
memutuskan untuk menirunya. Bahkan suatu ketika, ia mungkin akan jadi ustad
yang lebih baik dari Pak Somad.
Pengembangan Diri
secara Tidak Terprogram
Pengembangan diri
siswa secara tidak terprogram di sekolah meliputi kegiatan rutin, kegiatan spontan,
dan keteladanan itu sendiri. Kegiatan rutin misalnya piket kelas, ibadah, berdoa,
bakti social, lomba antar kelas, dan peringatan hari besar nasional. Nilai
manakah yang ditanamkan pada setiap kegiatan rutin tersebut? Dan apakah
indikatornya?
Kegiatan spontan
adalah kegiatan yang secara langsung direspon oleh guru, siswa, staf sekolah,
dan kepala sekolah. Mereka misalnya memberi dan menjawab salam, meminta maaf
jika berbuat salah, berterima kasih, bersyukur, bersalaman jika bertemu satu
sama lain, membesuk jika ada yang sakit, menolong yang kesusahan, dan melerai
jika terjadi perselisihan. Nilai apa yang ditanamkan pada kegiatan spontan
tersebut? Bagaimana cara memberi perkuatan?
Guru
perlu mengembangkan indikator dari karakter yang terbentuk melalui kegiatan
tidak terprogram. Indikator adalah petunjuk yang dapat dikenali bahwa
nilai yang ditanamkan telah mewatak. Contoh indikator dari berkembangnya nilai
kejujuran: Neraca bulanan kantin kejujuran yang ada di sekolah mengalami
keuntungan/laba. Jadi bukan sekedar adanya kantin kejujuran di sekolah. Ada kantin kejujuran, tetapi
selalu rugi, berarti tidak jujur.
Contoh lainnya
adalah karakter bersih. Nilai yang dikembangkan menyangkut kebersihan. Kegiatannya,
siswa memelitur bangku setiap setelah ujian akhir semester 2 (class meeting/lomba
kebersihan). Indikator dari karakter bersih pada kegiatan ini adalah siswa
menggosok bangkunya dengan kertas gosok, siswa memelitur bangkunya, sekolah
menyiapkan kertas gosok dan pelitur, siswa mengikuti lomba kebersihan bangku
antar kelas, dan siswa meniru kelas yang menang lomba kebersihan bangku.
Banyak kegiatan
spontan yang dapat dilakukan siswa, guru, kepala sekolah, dan staf sekolah
untuk memperkuat karakter siswa. Kegiatan spontan itu misalnya memberi nasehat
pada saat upacara bendera; merawat fasilitas sekolah (baju sekolah, meja, bangku,
dinding); melakukan bimbingan dan penyuluhan secara berkala; memberi pujian
kepada siswa yang mampu dan mau melakukan kebaikan terhadap orang lain; dan memberi
dukungan/dorongan untuk menanamkan rasa senang dan mengembangkan kemampuan yang
dimiliki siswa dengan membantu melatih dan mengikutsertakan dalam
perlombaan-perlombaan atau pertandingan-pertandingan di kelas,di sekolah,
maupun di luar sekolah.
Kegiatan spontan
lainnya adalah menegur siswa yang tidak merawat fasilitas sekolah, memberi
nasehat agar turut merawat serga menjaga lingkungan dan fasilitas umum
(tanaman, telepon umum), memberi nasehat agar tidak mencemarkan nama baik
sekolah (berkelahi, tawuran), menasehati pentingnya antri dalam keluar masuk
kelas atau loket, memuji karena rajin belajar, mendorong/memotivasi untuk rajin
belajar, mendorong untuk mengerjakan PR, memberi PR sesuai dengan kemampuan
siswa, memeriksa dan memberi umpan balik tugas siswa, dan menasehati untuk
selalu mengerjakan tugas sesuai petunjuk. Di samping itu, kegiatan sponatan
juga menasehati untuk tidak berbuat curang atau mencontek, bertanya jawab soal
pada temannya; mendorong siswa untuk mengemukakan pendapatnya; mengarahkan
siswa untuk mau menerima pendapat orang lain yang lebih baik; menyadarkan
kepada siswa bahwa pendapatnya belum tentu benar; mengajak siswa agar menjauhi
sifat-sifat sombong, dan memasang poster bahaya merokok. Masih banyak lagi
kegiatan spontan yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter siswa.
Penutup
Strategi habituasi
untuk membentuk karakter siswa dapat dilakukan dengan menggunakan teori
pengkondisian dan belajar sosial. Teknik shaping dan penggunaan jadwal
pemberian perkuatan dapat dipakai untuk memperkuat perilaku siswa. Sedangkan
keteladanan guru bagi siswa harus dipahami dari segi teori belajar sosial. Hal
ini berarti siswa harus diberi kesempatan untuk mengamati perilaku guru dan
perkuatan yang diterima guru dari lingkungan sosialnya. Teori tersebut dapat
diterapkan pada kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram yang lebih
bersifat rutin dan spontan.
Daftar Rujukan
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemendiknas.
Hall, C.S. & Lindzey, G. 1993. Teori-teori
Sifat dan Behavioristik: Allport, Sheldon, Catell, Dollard, Miller &
Skinner. (terjemahan A.Supratiknya). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hersh,
R.H., Millerr, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Models of Moral Education. New York: Longman, Inc.
Koswara, E. 2009. Teori-teori
Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Kurtines, W & Gewirtz, J. 1984. Morality, Moral Behavior, and Moral
Development. New York: John Wiley & Son.
Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantams Book.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar